Beberapa waktu lalu media rame banget tuh bahas program Ridwan Kamil yang akan mempekerjakan para pengemis dan gelandangan dan digaji bulanan. Tapi ternyata program yang bagus itu ditentang sendiri oleh pengemis yang meminta gaji 10 juta per bulan. Setelah dicari tahu, ternyata pendapatan pengemis itu bisa belasan juta per bulan. Luar biasa bukan?
Hampir di setiap perempatan jalan besar kita lihat ada pengemis. Kalo berhasil mengamati orang yang meminta-minta adalah orang yang sama, orang itu itu saja. Dan coba sesekali ngobrol sama mereka, pasti mereka orang luar kota, atau tinggal yang jauh dari lokasi meminta-minta. Dan kalo mau lebih berani lagi, coba tawarin mereka pekerjaan, kebanyakan mereka menolaknya. Saya sudah pernah coba, hehehe
Pernah saya pas iseng mengamati dan menghitung, setelah ngasih uang receh ke salah satu pengemis, dan sambil nunggu lampu hijau. Seandainya para pengemis itu mendapatkan uang 2 ribu rupiah dalam 90 detik saja (pada saat lampu merah). Coba kita hitung.
90 detik, mendapatkan Rp 2000
Dalam 1 jam anggaplah terjadi 30 kali lampu merah, sehingga penghasilan mereka dalam 1 jam adalah Rp 2000 x 30 = Rp. 60.000 dalam 1 jam.
Mereka bekerja dalam 1 hari, katakanlah sama seperti orang kerja kantoran yaitu 8 jam. Sehingga penghasilan mereka dalam 1 hari adalah Rp 60.000 x 8 = Rp 480.000 dalam 1 hari.
Kita hitung dalam 1 bulan, misalkan mereka bekerja selama 25 hari, penghasilan mereka dalam 1 bulan adalah Rp 480.000 x 25 = Rp 12juta per bulan.
Luar biasa bukan? Itu kalo mereka mendapatkan hanya Rp 2.000 (mendapatkan sedekah hanya dari 4 orang maksimal). Kalah dong para pegawai-pegawai kantor yang sudah kuliah mahal, cari ilmu sampe merantau jauh dari orang tua, yang mungkin gajinya tidak sampai 10juta perbulan. Sedangkan mereka hanya tampil dengan muka kotor dan melas, sudah bisa mendapatkan jutaan rupiah hanya dengan menodongkan tangan. Dan mereka pasti akan menolak menjadi seorang pegawai (misalnya tukang sapu) yang hanya digaji maksimal 3 juta. Itulah mental.
Saran saya (untuk pribadi saya sendiri, keluarga, dan pembaca), bersedekahlah ditempat yang benar, misalnya di yatim piatu, atau di masjid. Tidak untuk pengemis (tapi kadang saya kasihan dengan pengemis yang sudah tua renta). Atau dengan cara membeli kepada mereka-mereka yang jualan di jalan, mereka-mereka yang masih mau berusaha, tidak hanya dengan meminta, menjual rasa iba. Saya pribadi sudah berusaha melakukan hal itu dengan memulai membeli koran di perempatan jalan, meskipun koran-koran itu menumpuk tak terbaca (seperti yang pernah saya tulis tahun lalu di Membeli itu Menolong)
![]() |
Kakek Penjual Koran |
![]() |
Kakek Penjual Gulali |
![]() |
Kakek Penjual Kopi |
Menurut saya, membeli itu lebih mulia daripada hanya sekedar memberi.
Comments
Post a Comment